Menilik Prosesi Jumenengan Raja-Raja Jawa

Jumenengan Paku Alam X via antaranews.com

GULANGGULING.COM | Informasi – Yogyakarta istimewa! Keistimewaan yang dipegang oleh kota budaya kita tercinta ini tercermin salah satunya dari keistimewaan pemerintahannya. Kepemimpinan kota Yogyakarta dipegang oleh Sri Sultan Hamengkobuwono dan Sri Paku Alam sebagai wakilnya. Dan pada pada Kamis Legi 26 mulud 1949 atau pada 7 Januari 2016 kemarin sudah dilaksanakan jumenengan atau penobatan Kanjeng Bendara Pangeran Haryo (KBPH) Prabu Suryodilogo dilantik menjadi KGPAA Paku Alam X. Sri Paku Alam X menggantikan Sri Paku Alam IX yang wafat beberapa saat yang lalu. 

Penobatan Raja Jawa dikenal dengan istilah “jumenengan”. Kerajaan di Jawa ini khususnya adalah Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta, serta Kasultanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Jumeneng sendiri adalah bahasa jawa kromo yang berarti berdiri, dalam hal ini berarti bertahta. Ritual jumenengan adalah ritual sakral dan bermakna penting. Pelaksanaannya harus memenuhi dan mengikuti apa yang sudah digariskan oleh leluhur. Tentu saja ritual ini tertutup untuk umum. Hanya keluarga kerajaan, para abdi dalem, dan tamu-tamu undangan saja yang bisa turut menyaksikan secara langsung.

Dikutip dari kerajaan nusantara, jumenengan atau tingalan dalem jumenengan mempunyai arti sakral dan penting. Dalam bahasa Jawa, “tingalan” berarti peringatan, kata “dalem” sendiri merujuk pada panggilan kehormatan untuk seorang raja jawa, dan “jumeneng” berarti bertahta. Pelaksanaan jumenengan ini masih dilakukan sebagai warisan budaya leluhur dan sudah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.

Pada prosesi Jumenengan ditampilkan tarian adat Bedhaya Ketawang. Tarian ini bukan tarian yang bisa ditampilkan dimana saja atau kapan saja. Tarian Jawa klasik ini hanya boleh ditampilkan dalam acara Jumenengan saja, karena dalam tari Bedhaya Ketawang ini mengandung makna suci dan sakral. Penarinya sendiri berjumlah 9 orang gadis yang belum menikah atau masih perawan. Pada jaman dahulu penarinya berasal dari anggota keluarga kerajaan, namun untuk saat ini penari berasal dari kalangan umum namun juga harus memenuhi syarat. Tarian ini menandai berakhirnya acara Jumenengan.

Setelah prosesi jumenengan berakhir, biasanya akan diadakan kirab keliling kota pada siang atau sore harinya. Tujuannya adalah memperkenalkan Raja yang baru bertahta pada masyarakat luas. Selain itu, kirab juga menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat. Berikut adalah prosesi Jumenengan Sri Paku Alam X pada Kamis, 7 Januari 2016, seperti yang didokumentasikan oleh Kompas TV:

https://www.youtube.com/watch?v=BFRk9wEmRKI&feature=youtu.be

Sumber:
http://www.kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/adat/

Photo credit:
http://img.antaranews.com/new/2016/01/ori/20160107672 .jpg

LEAVE A REPLY