Cerita ini ditulis oleh seorang teman bernama Arie Subagio, beliau adalah penulis lepas, pemerhati sepakbola handal dan penulis essay yang mahir. Anda bisa berkenalan dengannya di @awsubagio atau silakan mampir ke situs pribadi dia di www.subagio.com. Selamat menikmati ceritanya…
Marhaban ya bal-balan. Setelah menunggu beberapa bulan, kita akhirnya bisa kembali melihat perbandingan sepakbola Eropa. Memang, dalam masa rehat, kita masih bisa melihat pertandingan sepakbola bermutu dari Copa America atau bahkan dari beberapa ajang uji coba internasional, namun, namanya juga pecinta bola, yang ditunggu-tunggu tentu kalau musim liga berjalan. Saat liga berlangsung, tentu banyak sekali cerita, kejutan, hingga drama yang bisa berkaitan satu sama lain hingga hasil akhir di pertengahan tahun mendatang. Beruntungnya kita, saat liga besar macam Premier League, Ligue 1, dan Eredivisie sudah mulai bergulir, kita juga disuguhi cerita drama lain di luar pertandingan, yakni bursa transfer pemain.
Setiap tahunnya, bursa transfer pemain menyuguhkan cerita tersendiri. Banyak bahkan yang menyajikan saga layaknya cerita sinetron Tersanjung yang berlarut-larut. Tak percaya? Tak perlu harus mencari cerita lama tentang hebohnya perpindahan Carlos Tevez dari dan tim tetangga Manchester atau pengkhianatan ala Sol Campbell di London Utara dan Luis Figo di La Liga. Musim ini kita sudah disuguhi cerita tangisan Iker Casillas yang harus terisak karena didepak dari tim yang dicintainya dan diganti oleh orang yang bernama versi tunggal dari dirinya (Casillas: jamak, Casilla: tunggal, boso linggis dab :v) atau yang terkini adalah kasus Angel Di Maria yang memiliki beragam versi penyebab di berbagai media internet. Namun, pernahkah anda melihat perpindahan pemain yang kadang tidak kita mengerti?
Kasus bursa transfer di Indonesia yang federasinya masih mengakui liganya sebagai profesional ini tentu saja tidak akan kita mengerti sama sekali. Lha wong tiap pemain dikontrak juga semusim, lalu klubnya bubar begitu saja pas musim berakhir, lalu mendadak ada lagi timnya di musim baru. Ini macam Parma kayaknya bisa asik ya kalau main di sini ga perlu pusing-pusing harus main di Serie D macam sekarang. Tapi karena tiap musim baru pemain semua pada berstatus bebas kontrak, jarang banget ada klub macam jual beli pemain bisa jadi bisnis di sini. Pemain macam Marwal Iskandar itu malah dulu kayaknya bisa main dari ujung barat sampe ujung timur negeri ini karena sistem perpindahan pemain semau-mau dia aja.
Di luar negeri, kita bisa mengambil banyak sekali contoh pemain muda macam Raheem Sterling yang ngotot berpindah dari Liverpool ke tim yang (iya akui saja emang lebih besar dan menjanjikan) lebih baik yakni Manchester City. Meskipun dihujat oleh banyak orang (baca: fans LFC), banyak orang yang berpendapat bahwa Sterling sah-sah saja ingin mendapatkan klub yang menurutnya lebih baik dari yang sebelumnya. Namun, tentu tak adil menghakiminya begitu saja karena toh Wayne Rooney juga waktu masih sangat muda berpindah dari Everton ke Manchester Kabupaten, atau macam dulu Gabriel Batistuta yang kayaknya betah banget di Fiorentina juga akhirnya jadi juara Serie A bareng AS Roma, bukan? Namun, kemarin-kemarin, kita mengenal salah satu striker yang punya nama besar di Prancis, di usia yang kayaknya juga masih dalam peak performance, eh mendadak main di final Copa Libertadores, bareng tim kagak jelas juntrungannya pula bagi fans Asia macam kita; Andre Pierre Gignac, streker top dari Prancis ini kok kesannya mau-maunya pindah ke tim Mexico bernama Tigres. Siapa itu Tigres? Bagusan mana tim ini dari Chivas Guadalajara, America, atau bahkan PSS Sleman?
Kang mas Gignac yang dulu waktu muda mulai dikenal jadi streker sanagar semenjak dari jaman main di Toulouse sampe dipinang klub gede Perancis Olimpique de Marseille ini digadang-gadang bakal pindah ke Serie A atau bahkan ke Premier League. Banyak pandit bola yang berpendapat bahwa Gignac jelas akan sangat berguna bagi tim macam Stoke City, Newcastle, atau bahkan West Ham yang kayaknya cucok banget dengan Andy Carroll. Namun, entahlah, sesuai dengan judulnya, kita juga ga mengerti kenapa ia akhirnya berpindah ke Mexico, mungkin dia mau sekalian mau bukak bisnis roti bagel di Mexico, ya mana kita tahu kan? Namun, banyak kelakar yang bilang bahwa semenjak Tigres juga gagal di Libertadores baru aja, bisa jadi akhirnya mas Gignac kembali ke Eropa dalam waktu dekat.
Sebelum mas Andre Pierre, Marseille juga sempet nransfer pemain kuncinya buat tim yang kagak jelas nasibnya sekarang. Banyak orang yang pasti mengenal Mathieu Valbuena bukan? Kagak tahu? Ampun dah dab, njenengan kagak pernah liat Piala Dunia po pie? Itu lho playmaker mungil yang sering dijuluki sepeda kecil ini ncen unik mainnya. Badannya ga lebih besar dari kebanyakan orang Indonesia, 164 cm kalau ga salah, semacam Giovinco, Santi Cazorla, atau Andik Vermansyah. Tapi soal visi playmaker, jelas kang mas Valbuena ini tergolong playmaker berkelas. Pas dia sempet digadang-gadang bakal pindah ke tim gede macam Manchester United, Arsenal, atau minimal Inter Milan (rumornya ke tim macam gitu lho bo) eh mak bedunduk ni orang tau-tau main di Dinamo Moskow. Katanya sih ini tim ada proyek lumayan gede, tapi eh tapi, karena sejak Piala Dunia kemarin udah main disana, kok proyeknya tim berjersey biru ini kok masih gak jelas ya dibandingin tim tradisional macam CSKA atau Zenit St.Petersburg. Bahkan jadi terkenal sebentar lalu ilang macam Anzhi Makachkala aja kagak bisa kan? Padahal disana juga ada pemain mayan bagus macam Christoper Samba, Yuri Zhirkov, atau bahkan Kevin Kuranyi, yang juga gak bisa kita mengerti kok bisa-bisanya pindah ke tim macam Dinamo Moskow pas jadi streker utama Jerman waktu main di Schalke.
Beberapa pemain bola memang sengaja berpindah ke tim yang jauh lebih kecil atau bahkan di liga yang jauh lebih ga terkenal dengan alasan menit bermain yang lebih baik atau bayaran yang lebih bagus. Samuel Etoo berpindah dari tim juara UCL Inter Milan ke Anzhi Makachkala jelas demi uang yang jauh lebih besar. Tapi kalau dipikir-pikir, mas Etoo jelas mau cari apa lagi selain cari uang gede, bukan? Beliyo udah dapet hampir semua gelar di level klub soalnya. Perpindahan pemain untuk mendapatkan menit jam terbang lebih tinggi juga bisa dimengerti macam Shaun Wright Phillips dan Sebastian Giovinco ke MLS. Ya anggep saja disitulah akhirnya mereka bisa berkreasi, daripada ndekem di bangku cadangan abadi kayak pemain macam Marco Storari, Christian Brocchi, atau bahkan Adriano-nya Barcelona sampe tua. Beberapa pemain lain berpindah demi menghidupkan diri karir mereka kembali di klub yang lebih kecil. Miroslav Klose bersinar di Lazio setelah jadi cadangan abadi di Bayern Muenchen, Antonio Cassano seperti kembali menjadi permata layaknya waktu muda semenjak di Sampdoria setelah hampir pensiun muda di Real Madrid, atau kini Romelu Lukaku yang sepertinya nyaman di tim penggembira macam Everton.
Disamping pemain, kadang klub bola sendiri membuat transfer yang kadang kita gak mengerti. Pernah mendengar cerita Real Madrid narik pemain macam Julien Faubert? Ampun bok, serius, Real Madrid bisa gelontorin puluhan juta Euro buat Asier Illaramendi yang kagak kepake sama sekali, tapi nransfer Julien Faubert yang emang dulunya bagus di Bordeaux lalu mayan menjanjikan di West Ham dan kini entah hilang kemana nasibnya? Masih mending Juventus minjem Lord Bendtner yang walau jarang banget main apalagi ncetak gol tapi aura ketuhanannya bisa bikin Juventus juara Serie A. Entah sedang segila apa sebenarnya Real Madrid waktu itu. Tapi mungkin, kalau masalah klub bikin transfer ajib gila kagak perhitungan mungkin waktu Manchester United waktu masih dimanajeri Sir Alex yang terkenal bisa cari permata terpendam macam Bebe. Iya itu, the Legendary Bebe yang punya medali premier league lebih banyak dari Steven Gerrard (CMIIW).
Beberapa pemain bola lain malah punya cerita lain yang mungkin semakin tidak kita mengerti dalam hal tidak mau berpindah dari klubnya ke klub yang jauh lebih baik. Cerita semacam Steven Gerrard atau Fransesco Totti yang minim gelar demi kesetiaan pada klubnya, atau bahkan Antonio di Natale yang kayaknya ga pernah dapet gelar apa-apa selain membuat dirinya sendiri semakin melegenda dengan rataan golnya yang ga ada matinya tiap musim Serie A karena keluarganya kadung nyaman di kota Udine, jelas bisa kita mengerti karena pilihan untuk berpindah ke tim lebih besar sepertinya sudah benar-benar terhapus dalam pikiran mereka. Namun, pernahkah anda melihat nasip aneh dari pemain bernama Gaetano D’Agostino? D’Agostino waktu main di Udinese dan jadi DMF yang sangat menjanjikan sampe-sampe sudah ditawar Real Madrid. Anehnya, walau prospeknya menjanjikan dan bahkan banyak pandit yang memprediksi mas yang namanya susah disebut ini dapat berkembang di Real Madrid, dia malah bertahan di Udinese, lalu cuman berpindah ke tim macam Fiorentina, lalu semakin menurun di tim dengan stadion aneh macam Siena, dan kini bahkan kabarnya cuman main di Serie B atau Serie C. Stephan Fletcher, streker ga jelas di Sunderland ini juga dulu waktu main di Aberdeen atau Hibernian ya (lupa, mohon dikoreksi) tapi waktu main di Skotlandia itu juga dilirik sama Real Madrid waktu muda. Eh tapi entah gimana memilih untuk menolak, mungkin ga berani bersaing dengan streker berkelas Madrid, eh sekarang di Sunderland juga makin gak jelas, jarang ncetak gol, tapi yang penting gajinya gede lah.
Kalau di klub, Liverpool mungkin jadi juara untuk beli pemain paling tidak bisa kita mengerti kok bisa-bisanya dibeli. Ricky Lambert, Andy Carrol, dan Mario Balotelli yang kasihan banget mati-matian berjuang di skema yang jelas ga cocok dengan kekuatan permainannya, atau Lazar Markovic yang bersinar jadi streker di Benfica, eh kelimpungan jadi bek sayap disana. Kasusnya mungkin sedikit mirip sama kasus timnas kita yang entah mengapa sering kali kekeh bermain sradak sruduk geser sayap umpan lambung ke kotak pinalti macam Stoke City jaman Toni Pulis tapi tinggi pemainnya rata-rata 20 cm lebih rendah. Ya maklum lah, yang penting kan perkembangan timnas katanya semakin berprestasi sejak dipegang rezim dan orang-orang yang sama sejak jaman the legendary Nurdin Halid itu. Mungkin tidak kita mengerti? Ahh masa bodo, yang penting Liga Super Indonesia yang katanya hiburan satu-satunya milik rakyat segera bergulir kembali.