Petuah dan Falsafah Penyebutan Angka Jawa

Image via wayangku.files.wordpress.com

GULANGGULING.COM | Informasi – Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah yang dipakai di Indonesia dan juga merupakan salah satu bahasa daerah yang dikenal luas tidak hanya di daerah Jawa saja. Salah satunya juga karena banyak orang suku Jawa yang tingal tidak hanya di pulau Jawa. Dengan adanya transmigrasi dan urbanisasi penduduk, bahasa dan adat suku Jawa juga ikut meluas. Bahkan ada beberapa universitas di luar negeri yang juga membuka program studi bahasa Jawa untuk khusus mempelajarinya.

Salah satu hal yang menarik dari bahasa Jawa, selain aksara atau hurufnya, juga adalah adanya penyimpangan dalam pengucapan beberapa angkanya. Penyimpangan? Ya, ada beberapa angka yang diucapkan berbeda dengan lainnya, mulai dari beberapa angka belasan hingga sampai angka 60. Dan penyimpangan pola penamaan bilangan ini konon memiliki falsafah yang amat mendalam jika dikaitkan dengan penyebutan usia seseorang. Berikut adalah penjelasannya, seperti dikutip dari sumber ini:

Angka 11 hingga 19
Dalam bahasa Jawa, angka 11 tidak disebut sebagai ‘sepuluh siji’, 12 bukan ‘sepuluh loro’, 13 bukan ‘sepuluh telu’ dan seterusnya hingga angka 19 yang tidak disebut sebagai ‘sepuluh songo’. Namun, angka 11 disebut sebagai ‘sewelas’, 12 disebut sebagai ‘rolas’ dan seterusnya hingga 19 yang disebut sebagai ‘songolas’. Apa makna dibalik semua ini? Mengapa sepuluhan diganti dengan welasan?

Filosofinya, bahwa pada usia 11 tahun hingga 19 tahun adalah saat-saat berseminya rasa welas asih (belas kasih) pada jiwa seseorang, terutama terhadap lawan jenis. Itulah usia di mana seseorang memasuki masa akil baligh, masa remaja. Sementara dalam banyak bahasa, bilangan 11 hingga 19 memang diberi nama dengan pola yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan belasan. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan teen, sehingga para remaja pada usia tersebut disebut teenagers.

Angka 21 hingga 29
Seterusnya, bilangan 21 hingga 29 dalam bahasa Jawa juga dinamakan berbeda dengan pola umum yang ada. Dalam bahasa lain biasanya sesuai pola. Misal dalam bahasa Indonesia diucapkan dua puluh satu, dua puluh dua, dan begitu seterusnya hingga dua puluh sembilan.

Sedangkan dalam bahasa Jawa tidak demikian, angka 21 tidak disebut sebagai ‘rongpuluh siji’, 22 tidak disebut rongpuluh loro, dst, melainkan 21 disebut selikur, 22 disebut rolikur, dan seterusnya hingga 29 yang disebut songo likur, kecuali angka 25 yang disebut sebagai selawe. Di sini terdapat satuan Likur yang tidak lain merupakan kependekan dari “LIngguh KURsi”, yang artinya duduk di kursi.

Mengapa disebut demikian? Falsafahnya, bahwa pada usia 21 hingga 29 itulah pada umumnya manusia mendapatkan “tempat duduknya”, baik itu berupa pekerjaannya, profesi yang akan ditekuni dalam kehidupannya; apakah sebagai pegawai, pedagang, seniman, penulis, dan lain sebagainya.

Bahkan yang lebih menarik, angka 25 memiliki sebutan khusus, yang mana bilangan 25 tidak disebut sebagai limang likur, melainkan selawe. Selawe konon merupakan singkatan dari “SEneng-senenge LAnang lan WEdok”, itulah puncak asmaranya seorang laki-laki dan perempuan, yang ditandai oleh pernikahan. Maka pada usia tersebutlah (25) pada umumnya seorang laki-laki berumah tangga (dadi manten). Memang tidak semua orang menikah pada usia tersebut, tapi jika dirata-rata memang di antara usia 21-29. Pada saat kedudukan sudah diperoleh, pada saat itulah seseorang siap untuk menikah.

Angka 50
Dari angka 30 hingga 49, penamaan angka dibaca normal seusai pola urutan, misalnya telung puluh, telung puluh siji, telung puluh loro, dst. Tapi ada penyimpangan lagi nanti pada bilangan 50. Mestinya, angka ini disebut sebagai limang puluh, namun sebutan populernya tidaklah demikian, angka 50 lebih sering disebut dengan seket. Apa makna dibalik semua ini? Konon SEKET merupakan kependekan dari kalimat “SEneng KEThonan”, artinya suka memakai kethu/alias tutup kepala/topi/kopiah dan sebagainya.

Hal ini menandakan usia seseorang semakin lanjut, dan tutup kepala merupakan lambang dari semua itu. Selain itu tutup kepala merupakan alat untuk menutup rambut yang mulai botak atau memutih. Di sisi lain, tutup kepala bisa juga berupa kopiah yang melambangkan orang yang sedang beribadah. Memang demikian, pada usia 50 sudah seharusnya seseorang lebih memperhatikan ibadahnya. Setelah sejak umur likuran bekerja keras mencari kekayaan untuk kehidupan dunia, sekitar 25 tahun kemudian, yaitu pada usia 50 perbanyaklah ibadah, untuk bekal memasuki kehidupan akhirat.

Angka 60
Lain 50, lain pula 60. Angka ini tidak populer dengan sebutan enem puluh, tapi lebih sering diseut dengan sewidak atau suwidak. Usut punya usut, konon sewidak merupakan kependekan dari “SEjatine WIs wayahe tinDAK“.

Maknanya, sesungguhnya pada usia tersebut sudah saat seseorang bersiap-siap untuk pergi meninggalkan dunia fana ini. Maka kalau usia kita sudah mencapai 60, lebih berhati-hatilah dan tentu saja semakin banyaklah bersyukur, karena usia selebihnya adalah bonus dari Yang Maha Kuasa.

Begitulah arti dan makna dari falsafah penyebutan bilangan dalam bahasa Jawa ini. Benar atau tidaknya itu semua, tapi yang jelas kita bisa mengambil pelajaran yang berguna bagi kehidupan kita. Demi untuk mempersiapkan yang terbaik untuk akhir kita nantinya. Dan semoga kita semua adalah orang-orang yang bermanfaat bagi sesama.

Sumber: putra melayu

LEAVE A REPLY